Mesin L300 yang dipasang di perahu
kecil yang kita tumpangi meraung-raung ketika melewati bebatuan yang berserakan
di tengah sungai. Sementara kedua tangan sang nahkoda, terlihat sibuk
mengendalikan perahu, menghindari kayu atau batu di bawah permukaan air yang
bisa saja merobek lambung perahu yang kita tumpangi. Sementara kami sang
penumpang, hanya bisa berpegangan erat dan pasrah mempercayakan hidup kami
sepenuhnya kepada sang nahkoda.
Sehari sebelumnya, mobil yang kami
tumpangi dengan perlahan meninggalkan sebuah hotel di Kota Palangkaraya. Dari
ibu kota provinsi Kalimantan Tengah inilah perjalanan kita menuju sebuah Rumah Betang di desa Tumbang Korik dimulai.
Perjalanan etape pertama hingga desa Tumbang Miri kita tempuh selama 8 jam. Menuju
utara jantung pulau Borneo dengan melewati kota kecil Kuala Kurun hingga Desa
Tewah, di sini perjalanan masih bisa dibilang aman-aman saja karena jalannya
yang sudah lumayan bagus.
Dari Tewah lah pertualangan yang
sebenarnya dimulai, jalan yang belum di aspal sebagian kecil hanyalah berbentuk
makadam, sedangkan sebagian besarnya jalan yang tidak beraturan, bercampur
antara bebatuan dan diselingi dengan kubangan lumpur.
Berkali-kali kita harus melewati
jembatan darurat, papan yang disusun untuk memudahkan pengendara melewati
kubangan lumpur yang cukup dalam, namun kita harus membayar Rp. 5.000 kepada
sang pembuat.
Di suatu titik dimana tak ada
jembatan darurat, kita harus menunggu sekitar 1 jam hingga bisa lewat, sebuah
truk yang terperosok harus di evakuasi sebelum pengguna jalan lain bisa lewat.
Yang menjadi puncak, ketika tangki bensin kita terlepas sehingga kita harus
mengikatnya dengan tali dan melaju pelan hingga sampai ke desa Tumbang Miri.
Keesokan harinya, semua tas dan
logistik kita telah tersusun rapi dalam sebuah perahu kecil atau yang biasa
disebut dengan klotok oleh masyarakat
Kalimantan. Dengan cepat klotok yang
ditenagai oleh mesin mobil L300 membelah Sungai Kahayan yang merupakan salah
satu sungai besar utama di Kalimantan Tengah.
Beberapa desa suku Dayak Ngaju yang
berada di tepi sungai kita lewati, di beberapa bagian sungai agak dangkal
sehingga nahkoda kapal harus sedikit berhati-hati. Beberapa kali klotok kita terantuk batu atau kayu yang
berada di dalam air. Perasaan gugup dan was-was yang awalnya saya rasakan
setiap kali klotok kami menyentuh
sesuatu kini sudah saya tak hiraukan lagi karena saking seringnya.
Begitu memasuki Sungai Hamputung
yang lebih kecil, tantangan semakin ekstrim. Jeram yang hampir bertingkat harus
kita lalui, untungnya nahkoda kita sudah berpengalam di jalur ini. Riak dan
batu sudah menjadi makanan sehari-harinya selama 6 tahun berbisnis di taksi
air.
Pemandangan juga semakin syahdu,
pohon-pohon besar menaungi perjalanan kita di sepanjang jalan. Bahkan seekor
Burung Enggang yang sudah langka terbang melintas, pertanda alam di sekitarnya
masih terjaga.
Di sebuah persimpangan sungai
kecil, nampaklah sebuah desa kecil yang menjadi tujuan kita. Dinamakan desa
Tumbang Korik karena pemukiman ini terletak di muara sungai yang bernama Korik.
Tumbang sendiri artinya muara sungai, setiap nama desa di Kalimantan yang
berawalan dengan nama Tumbang pastilah berada di muara sungai.
Begitu kita naik dari lanting,
tiang Pantar tua yang menjulang
tinggi menyambut kedatangan kita. Tepat di seberangnya, berdiri dengan gagah
sebuah rumah besar dan tinggi membuat kita yang datang seakan kecil. Rumah itu
disebut dengan Betang Temanggung Singa Kenting.
Di depan rumah Betang tedapat sebuah bagunan kecil dengan ukuran khas Dayak yang
disebut Sandung, di sinilah tulang-belulang
para leluhur disimpan setelah upacara adat kematian terakhir dilakukan. Upacara tersebut bernama Tiwah, khusus dilaksanakan bagi para keluarga yang telah meninggal
yang masih memeluk agama leluhur suku Dayak, yaitu Kaharingan.
Sebuah pintu unik yang terbuat
hanya dari satu keping Kayu Ulin dengan ukiran hewan mitologi berkepala gajah
dan berbadan naga menyambut setiap tamu yang datang. Konon ada yang ingin membeli daun pintu ini dengan harga
ratusan juta, namun ditolak oleh pihak keluarga Betang karena nilai sejarahnya yang tinggi. Tak jauh dari pindu,
teronggok rantai besi sebesar dengan mata sebesar telapak tangan yang dulunya
dipakai untuk mengikat Jipen, sebutan
untuk budak yang dimilliki oleh Suku Dayak.
Struktur rumah yang dibangun
seluruhnya menggunakan Kayu Ulin ini cukup unik, semua bagian rumah disatukan
tanpa menggunakan paku, hanya menggunakan pasak. Terdapat beberapa kamar di bagian
dalamnya, teras di bagian belakan di gunakan sebagai dapur bersama dimana semua
keluarga memasak. Sebenarnya ada di
samping Betang utama milik keluarga
Temanggung Singa Keting ini dulunya di samping kiri dan kanannya juga ada Betang yang sama besarnya, namun siring
waktu telah rusak dan hanya tinggal tiang.
Ditemani satu ceret baram, minuman khas suku Dayak yang
biasanya disuguhlan kepada tamu yang datang kita mendengarkan cerita tentang
asal usul rumah Betang ini dari para
tetua kampung yang masih keturunan dari sang temanggung.
Dikatakan, sebelum berada di
posisinya yang sekarang rumah Betang milik suku Dayak Ot Danum ini telah
berpindah sebanyak dua kali karena posisinya yang belum tepat sehingga sering
diserang oleh musuh. Hingga akhirnya dilakukan ritual Manajah Antang, yaitu meminta petunjung dari yang kuasa dengan
perantara burung elang untuk mencari posisi yang paling bagus, dan didapatlah
posisi yang sekarang.
Pada jaman dahulu, sebelum adanya
penjanjian di desa Tumbang Anoi tanah Kalimantan tidaklah aman, Ngayau atau yang lebih dikenal dengan
pemburu kepala masih berkeliaran. Perang antar suku masih sering terjadi, maka
dari itu rumah khas suku Dayak atau Betang
ini pada umumnya tinggi-tinggi hingga 6 meter dari permukaan tanah. Selain
untuk menghindari dari serangan musuh bangunan yang tinggi juga aman dari
binatang buas.
Betang pada umumnya didiami oleh
beberapa keluarga, hingga sepuluh keluarga hidup dengan rukun. Sebab itulah
ukurannya pun sangat besar dibandingkan dengan rumah modern pada jaman
sekarang, hingga 60 sampai 100 meter. Namun seiring dengan keadaan Kalimantan
yang sudah aman keberadaan rumah besar semakin meyusut, orang-orang lebih
nyaman membangun rumah dengan ukuran yang tidak terlalu besar.
Selain mengunjungi Betang, ada
beberapa aktifitas yang menarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Desa Tumbang
Korik seperti Jungle Trekking di
hutan yang masih perawan, menyusuri trek
hutan hujan yang masih berlintah dijamin menjadi pengalaman yang tak terlupakan
ketika pulang ke kampung halaman. Jika datang pada saat musim tanam, kita juga
bergabung dengan masyarakat menuju ladang di tengah hutan.
Cara bertanam mereka yang unik di
lereng bukit, tanpa air seperti yang biasa di lakukan di lahan rendah juga
patut untuk dilihat dan dipelajari sehingga tidak lagi menganggap Suku Dayak
sebagai perusak hutan ketika membuka lahan dengan cara di bakar.
Tiga hari rasanya belum cukup untuk
menikmati dan merasakan hidupnya Suku Dayak yang sederhana, namun pertualangan
kembali berlanjut dalam perjalanan pulang kita. Jika punya waktu lebih banyak
ingin sekali kita melanjutkan perjalanan menuju beberapa rumah Betang lain
seperti yang berada di Desa Tumbang Anoi dan Desa Tumbang Malahoi. Mungkin lain
kali kalian harus kembali ke Kalimantan, bisik saya kepada dua orang teman
seperjalanan yang berasal dari Francis.
Happy Responsible Travel!
Note:
Tulisan ini dimuat di Majalah Gateaway edisi
bulan Juni-Juli 2016
Rumah-rumah di sini menggunakan Kayu Besi (Kayu Ulin), dan pakunya pun pasa' terbuat dari kayu ulin juga. Lihat jalannya memang butuh perjuangan ke sana.
BalasHapusSayang sekarang sudah langka kayunya...dan kalaupun ada mahal banget.
HapusBenar mas, dulu rumah panggungku di Karimunjawa sebagian besar kayu Ulin. Sekarang sudah susah nyarinya. Muahal banget harganya
Hapusbuset trek jalannya emang berlumpur gitu ya? truck aja ampe miring2 gitu
BalasHapushaha...klo di kalimantan masih lumayan jalan kaya gini :-D
HapusAslii. ini asik banget. petualang banget.
BalasHapussadiss. tangki bensin sampe lepas baru diikat pake tali mas? Wah. kalau aku mungkin lewat jalan kaya gt udah mabuk darat
Haha...saking hancurnya jalannya mas
HapusKalo jembatan darurat nya 10 biji berarti 5000 x 10 yeee
BalasHapusYa begitulah om....
HapusWah joss bener perjalanannya, perjalanan gini nih yang bikin kesan tak terlupakan walau kadang2 menjadi kesan tak ingin diulangi juga hahahaaha.... btw itu rumah udah keliatan tua bener ya
BalasHapusIya emang udah tua banget mas, masih pengen ngulanng kok..hehe
HapusSedikit ralat. Nama yg benar adalah Singa Kenting, bukan Singa Keting. Saya tahu persis karena istri saya adalah cucu dari Singa Kenting. Trims.
BalasHapus